Siapa Manusia?

BOGOR. Jurnalaksara.com, – Perhatikan bagaimana perilaku manusia sekarang, aneh-aneh bukan? Ibarat kata seperti orang yang pakai celana tapi badan telanjang. Atau sebaliknya pakai baju lengan panjang tapi bawahan tanpa sehelai benang. Wow mengerikan!  Itulah sekilas gambaran manusia masa kini, tidak seimbang. Sebagian ada yang kerjanya bagus, tepat waktu, tapi ibadahnya bolong-bolong alias belang bentong.

Sebagian ada yang ibadahnya rajin dan mantap tapi kerjanya malas-malasan. Terkadang ada yang mikirnya jagoan tapi tidak simetris dengan perasaan, akibatnya bersikap keterlaluan. Ada yang perasaannya lebih mendalam ketimbang pikiran, hanyut terbawa arus hingga ke muara lamunan… akibatnya galau dan –kata orang sunda ‘mah’—teu puguh cacabakan! Inilah manusia yang selalu diharu biru oleh pikiran, perasaan, nafsu, keinginan, emosi, eporia dsb, yang dapat mengakibatkan sakit jiwa karena rasa prustasi yang bertubi-tubi dan tak sedikit yang melakukan bunuh diri.

Sekadar menunjukkan kebingungan massal akibat orang mengalami hampa pedoman, data BNN (2013) menyebutkan, bahwa pecandu narkoba di Indonesia mencapai angka empat juta orang dan 90%-nya adalah generasi muda (pelajar dan mahasiswa). Demikian juga yang mati karena overdosis mencapai angka 15 ribu jiwa setiap tahunnya (diprediksi akan  terus meningkat), lagi-lagi 90%-nya adalah generasi muda. Belum yang melakukan pergaulan bebas, termasuk hubungan seks pranikah di lima kota besar (Medan, Padang, Jabodetabek, Bandung dan Surabaya) sungguh membuat dada kita mengerut (baca: mengurut dada); sedih dan prihatin, mau dibawa kemana generasi kita ini?

Beginilah Manusia

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, manusia itu mahluk paradoksal, artinya mahluk  kontradiktif—bisa juga disebut antagonis, yang di dalam dirinya terdapat dua tarikan, yaitu tarikan ruh dan tarikan jasad. Ruh itu suci, jasad itu kotor. Maka ketika ruh masuk ke dalam jasad maka terjadilah perang “brathayuda” (baca: saling bersaing dan rebutan posisi—persis seperti anggota DPR kita).

Andaikata ruh yang dominan, jasad tunduk di bawah ruh, maka manusia akan baik. Sebaliknya bila ruh ditundukkan, jasad melenggang sendirian maka manusia akan jahat. Disinilah pentingnya pendidikan agama yang dapat menghidupkan ruh dalam pengertian mendudukkan manusia tepat sesuai dengan kehendak Allah dan RasulNya, dan ruh pun terjaga kesuciannya. Namun bila kita abai terhadap pendidikan agama dan lenyap bak panah lepas dari busurnya, peluru dari psitolnya, batu dari ketepelnya maka jiwa manusia menjadi liar ngak karuan; hilang rasa malu dan berbuat sakarep dewe atau kumaha aing! Silakan baca QS. 70 : 19-25:

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka tetap (istiqomah) mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. (peduli) terhadap kalangan miskin yang meminta ataupun (terhadap) orang fakir (yang menjaga diri dari meminta-pinta).

Menurut Hujjatul Islam Imam Ghozali, barangsiapa mengenal dirinya sungguh ia akan mengenal Tuhannya. Demikian juga kata filosof Aristoteles, Inoty Zeton; kenalilah dirimu… jadi hingga saat ini—mayoritas kita belum paham siapa diri kita. Sebab jelas muara orang yang mengenal dirinya atau tentang “siapa saya” pasti akan merasa dekat kepada Allah dengan segala sifat keagunganNya. Hingga saat ini banyak di antara kita masih berkelana untuk mendapatkan jawaban tentang jati diri selaku manusia—padahal usia sudah pensiun, cucu sudah selosin. Kalau masih remaja—menurut para psikolog umur remaja adalah masa transisi atau pancaroba—wajar, kalau sudah tua (bangka), kebangetan!

Sesuai dengan Hadis Kudsi di dalam Kitab Hidayatul Mursyidin, Allah berfirman, Aku senang tiga tipe manusia namun Aku lebih senang terhadap tiga tipe lainnya. Aku senang orang yang dermawan, tapi lebih senang kepada orang fakir yang dermawan. Aku senang kepada orang yang rendah hati, tapi lebih senang kepada orang kaya yang rendah hati. Aku senang kepada orang yang suka bertaubat, tapi lebih senang kepada anak-anak muda yang bertaubat. Kemudian… kata Allah, Aku benci kepada orang yang kikir, tapi lebih benci kepada orang kaya yang kikir. Aku benci kepada orang yang sombong, tapi lebih benci kepada orang miskin yang sombong. Aku benci kepada para pembuat dosa, tapi lebih benci kepada tua bangka pembuat dosa.

Sungguh jelas berdasarkan Hadis Kudsi ini, murka Allah—salah satunya—terhadap kalangan orangtua pembuat dosa.

Jika distrukturkan muslim di Indonesia terbagi kepada empat kategori, yaitu 1) muslim yang sadar, 2) muslim yang wajar, 3) muslim yang alakadar, dan 4) muslim yang kurang ajar. Muslim yang sadar adalah muslim yang perilakunya seiring-sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah; bahkan berkemauan keras untuk menunaikan ajaran Islam secara kaafah (ibarat kata siap melakoni dari mulai bab thoharoh hingga bab jihad). Adapun muslim yang wajar adalah muslim yang biasa-biasa saja, mereka adalah orang-orang baik dan tidak melakukan perbuatan maksiat namun belum kaafah menunaikan ajaran Islam—bahkan sebagian cenderung  menolak ajaran yang bernuansa “politis” atau yang “dianggap” keras—seperti nahyi munkar dan jihad. Kemudian muslim yang alakadar adalah muslim yang antara amal baik dengan amal buruknya seimbang atau seiring sejalan; acapkali diistilahkan dengan STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan) atau HI-JET (Haji Iya, Judi, jinah Juga Enak Tenan) . Sedangkan muslim yang kurang ajar adalah muslim yang amal buruknya lebih bejibun ketimbang amal baiknya, dan cenderung merusak; dosa-dosa besarmereka lakoni seperti berzina, minum khomar, narkoba, merampok, membunuh dsb.

Semua ini merupakan kenyataan sejauh mana kedekatan mereka dengan agama atau lebih khusus lagi dengan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan mereka. Mari kita pelajari bagaimana sesungguhnya Al-Qur’an berbicara tentang manusia. (Pedoman Ummat/dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *