BOGOR. Jurnalaksara.com, – Menurut catatan sejarahnya, pada awal tahun 1870-an, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij membangun stasiun di Buitenzorg sebagai bagian terakhir dari jalur kereta api Batavia–Buitenzorg (kini Jakarta – Bogor) yang menghubungkan Kleine Boom dengan Buitenzorg. Stasiun ini bernama Stasiun Buitenzorg dibuka untuk kali pertama bagi umum pada tanggal 31 Januari 1873. Tidak kurang dari 40 tahun pertama, stasiun ini dikelola oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS).
Tahun 1913 jalur kereta api Batavia – Buitenzorg dibeli oleh SS. Dahulu, sebuah lapangan luas bernama Wilhelmina Park pernah menjadi bagian dari stasiun Bogor, orang Bogor lebih mengenalnya sebagai Taman Kebon Kembang. Pada Tahun 1881, Staatsspoorwegen (SS) membangun Stasiun Buitenzorg yang kedua sebagai bagian dari pembangunan jalur kereta api Buitenzorg (Bogor) – Bandoeng – Banjar – Kutoarjo – Yogyakarta.
Pembangunan jalur kereta api ini mengharuskan adanya peran pemerintah mengingat biaya pembangunannya lebih mahal dari pada pembangunan lintas datar. Dengan menunjuk David Maarschalk sebagai kepala jawatan, dibangunlah jalur kereta api tahap pertama Staatsspoorwegen (SS), yaitu pembangunan lintas selatan Jawa serta pembangunan jalur Surabaya – Pasuruan – Malang. Pada 5 Oktober 1881, jalur kereta api segmen pertama, Buitenzorg (Bogor) – Cicurug, telah selesai. Per tanggal 17 Mei 1884, jalur telah sampai di Bandung.
Pambangunan Stasiun ini dibangun semata-mata untuk kepentingan transportasi hasil pertanian dan perkebunan dari wilayah Buitenzorg (Bogor), meliputi wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Wilayah Karesidenan ini dijaman Kolonial merupakan kawasan pertanian dan perkebunan.
Stasiun ini menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia, khususnya para pemuda Bogor mempertahankan Kemerdekaan RI pada perang revolusi melawan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali pada Tahun 1945. Seorang pemuda pemberani yakni Kapten Tubagus Muslihat, gugur tertembak dilokasi ini dalam kontak senjata dengan tentara Belanda.
Renovasi stasiun pernah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2009. Bangunan stasiun yang bertuliskan “1881” ini, yang menghadap Jalan Nyi Raja Permas ini akhirnya tidak difungsikan sebagai pintu keluar-masuk stasiun untuk umum. Pintus keluar-masuk stasiun dipindah menghadap ke barat di jalan Mayor Oking Jayaatmaja.
Stasiun ini memiliki dua bangunan yang berdampingan. Bangunan utamanya adalah bangunan area masuk ke stasiun, lobi, kantor administrasi, tempat penjualan tiket, dan fasilitas lainnya. Sementara itu, bangunan keduanya adalah bangunan overcapping yang menaungi peron dan dua jalur kereta api.
Stasiun ini memiliki delapan jalur kereta api. Jalur 3 merupakan sepur lurus arah Depok – Jakarta sekaligus sepur raya jalur tunggal arah Cianjur – Padalarang. Jalur 5 merupakan sepur lurus jalur ganda arah hilir (dari Depok – Jakarta).

Arsitektur bangunan
Stasiun ini kental dengan nuansa Eropa, kaya akan ornamental geometris seperti awan, kaki-kaki singa, dan relung yang terpengaruh gaya Yunani Klasik dengan unsur simetris dan serba geometris. Gaya bangunan stasiun adalah Indische Empire dengan sentuhan pintu masuk dan lobi utama bergaya Neoklasik. Pada ruang VIP berdiri prasasti dari marmer setinggi 1 meter. Monumen ini sebagai simbol tanda ucapan selamat pagi dari para karyawan SS kepada David Maarschalk yang memasuki masa pensiun atas usahanya mengembangkan jalur kereta api di Jawa. Prasasti ini dibuat sebagai pengganti patung David Maarschalk yang dulunya berada di tempat prasasti ini.
Bentuk atap pelana dan gerbang melengkung pada fasad depan memberikan kesan anggun bangunan. Dindingnya berupa bata plesteran dengan guratan bergaris serta adanya moulding cornice yang membingkai atap jurai di atasnya. Jendela dan pintu terbuat dari kayu dengan ukuran yang kuat sehingga memberikan kesan klasik bangunan. Peron stasiun dipayungi overcapping yang terbuat dari besi bergelombang yang ditopang kerangka baja. Stasiun ini memiliki dua lantai yang dihubungkan dengan tangga meliuk-liuk.
Saat ini, meski bangunan utama stasiun relatif tidak berubah, overcapping stasiun telah mengalami perubahan. Tritisan atap stasiun kini telah sebagian dilubangi dan dipotong, dan kerangka bajanya juga diiris sebagian di atas jalur 3 untuk mengakomodasi kabel listrik aliran atas saat KRL Jakarta – Bogor dioperasikan. KRL tersebut mulai beroperasi tahun 1925 untuk memperingati hari ulang tahun SS yang ke-50.
Kini Stasiun Bogor ini disibukkan oleh kaum penglaju dari Bogor menuju ke Jakarta. Saat ini stasiun ini melayani dua layanan KRL Commuter Line; Yellow Line/Jakarta Loopline ke Stasiun Angke, Kampung Bandan, sampai dengan Jatinegara, serta Red Line ke Stasiun Jakarta Kota. (Sam Tanara/dari berbagai sumber)
