Oleh Rahmat Iskandar (Pemerhati Sejarah)
Laboratorium Treub merupakan sebuah bangunan kantor di dalam Kebun Raya Bogor (KRB). Bangunan ini mudah dikenali karena corak bangunannya yang mencerminkan gaya Eropa atau gaya Belanda. Lokasinya mudah ditemukan, dari Gerbang Utama KRB (Pintu 1) di depan Pasar Bogor, setelah memasuki gerbang cukup berbelok ke arah kiri di perempatan depan Monumen Lady Raffles dan kemudian berjalan sekitar 30 meter maka akan terlihat di sebelah kiri. Posisinya berada sebelum “The Melchior” yang dulu merupakan rumah tinggal Melchior Treub. Laboratorium ini dibangun saat Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge berkuasa di Hindia Belanda pada tahun 1875-1881 dan ia tinggal di Buitenzorg (Bogor – red).
Siapa Melchior Treub (26 Desember 1851 – 3 Oktober 1910) ? Tenyata ia adalah seorang ahli botani berkebangsaan Belanda. Seorang Doktor lulusan Universitas Leiden ini, dikenal sebagai direktur S’Lands Plantentuin (Bogor Botanical Gardens) kini menjadi Kebun Raya Bogor (KRB), ia menjabat dari 1880 sampai dengan tahun 1910. Lewat kepemimpinan Treub, Kebun Raya Bogor berkembang menjadi sebuah institusi ilmiah profesional dengan pengetahuan alam tropis di Hindia Belanda (kini Indonesia – red).
Pada tahun 1907, Treub menerima Linnean Medal, dan Perkumpulan untuk Kemajuan Penelitian Ilmiah di Daerah Tropis yang sekarang dikenal sebagai Treub Maatschappij. Ia juga dihargai karena mengusulkan istilah protokorm untuk menjelaskan tahap awal germinasi likopoda. Namanya diabadikan pada laboratorium botani di Kebun Raya Bogor yakni Laboratorium Treub. Selain itu, sebagai bentuk penghargaan, namanya diabadikan sebagai nama jalan yakni Melchior Treub weg, setelah kemerdekan nama jalan tersebut dirubah menjadi jalan Otto Iskandardinata (Otista).
Menurut catatan Sejarah, pada 14 November 1884, pemerintah kolonial menyerahkan sebuah rumah sakit militer tua, yang saat itu terletak antara bangunan kurator dan Museum Zoologi, kepada Treub. Treub kemudian mengubahnya menjadi stasiun penelitian botani sederhana pertama di daerah tropis.
Pada tahun pertama pembentukan laboratorium gtersebut, tercatat antara lain tiga peneliti dari Belanda yang menggunakan ruang kerja di laboratorim tersebut. Ketiga peneliti tersebut Dr. Sijfert Hendrik Koorders dari Dinas Kehutanan Hindia Belanda. Peneliti lain adalah Prof. Johannes E. Eijkman, mahaguru kimia dan farmakologi Universitas Tokyo, Jepang. Peneliti ke tiga adalah Prof. Karl. van Goebel, adalah mahaguru botani di Universitas Rostock, Rusia.

Catatan lain menyebutkan bahwa selama dekade pertama berdiri Stasiun Botani tersebut tercatat 46 orang ilmuwan tamu bekerja di laboratorium ini, sebanyak dua pertiga berkebangsaan Belanda dan Jerman. Negara-negara lain juga mengirim peneliti yakni dari Rusia, Australia, Belgia dan Swiss.
Antara rentang waktu berdiri laboratorium hingga awal Perang Dunia I, sebanyak 154 orang ilmuwan asing mengunjungi dan memanfaatkan stasiun penelitian ini. Pada masa pasca Perang, kegiatan penelitian menjadi sangat sepi, bahkan pada tahun 1918 tidak terdapat satu pun peneliti asing yang berkunjung, belajar dan meneliti di KRB.
Langgam bangunan yang memiliki kolom-kolom dan entablatur dengan motif hias yang mirip pada bangunan Romawi atau Yunani kuno, merupakan ciri bangunan neo-klasik. Bangunan-bangunan semacam ini di Kota Bogor masih banyak dijumpai dan terpelihara dengan baik. Walau pun tak dapat dipungkiri bahwa banyak di antaranya bangunan yang berlanggam neo klasik tersebut telah musnah, hancur dan terlantar. Seperti bangunan sepanjang Jalan Merdeka, Jalan Martadinata dan yang paling baru di Jalan Ahmad Yani, di tepi Sungai Ciliwung dekat Pusat perbelanjaan Jambu Dua.
Bangunan -bangunan neo klasik di Kota Bogor, umumnya tersebar di kawasan yang disebut dengan kawasan permukiman Eropa atau Belanda. Tentu pemiliknya bukan sembarangan, tapi dapat dikatakan sebagai golongan elit, kaya-raya atau para pejabat yang terpandang di Masyarakat kala itu. (Sam Tanara/dari berbagai sumber)