BOGOR. Jurnalaksara.com, Tidak ada yang istimewa dalam tampilan kini Pasar Bogor. Rasa “Sareukseuk “ manakala memasuki gedung pasar yang kusam, belum lagi sampah-sampah yang berserakan. Suasana hiruk pikuk, mulai dari tawar-menawar harga yang alot antara penjual dan pembeli, seorang ibu yang menjinjing kantung plastik belanjaan sambil membaca catatan belanjanya, sampai bocah kuli panggul yang kepayahan membawa beban belanjaan “Sang majikan”.
Pasar yang terletak di seberang Kebun Raya Bogor ini tidak pernah tidur, selalu ramai pengunjung baik siang maupun malam. Di tengah menjamurnya pasar-pasar tradisional dan serangan pasar-pasar swalayan di Kota Hujan. Bahkan di depan Pasar Tradisional tertua ini berdiri megah sebuah pusaat perbelanjaan, namun pasar ini tetap menjadi sentra perekonomian penduduk kota. Tentu predikat ini dapat bertahan karena Pasar Bogor bukan sekedar pusat perniagaan, tetapi merupakan wadah interaksi masyarakat yang telah menjadi memori sejarah kota ini.
Pasar Bogor bukan satu-satunya sentra perdagangan tradisional yang ada di Kota Bogor. Namun, bila merujuk pada konteks historis, pasar ini menjadi salah satu pusat konsentrasi masyarakat non-Eropa yang diizinkan beroperasi di kawasan elit Eropa. Sejak awal Buitenzorg memang dirancang sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, dan para pegawai tinggi kolonial. Masyarakat non-Eropa dilarang bermukim di kawasan elit ini. Sesuai dengan masterplan kota, pembangunan struktur dan infrastruktur Buitenzorg, lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat Eropa..
Namun demikian, sebagai pemilik pribadi Villa Buitenzorg, gubernur jenderal melihat banyak lahan kosong di tanah miliknya yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, terbesit gagasan untuk memanfaatkan tanah kosong itu dengan cara menyewakannya. Betul saja, sejak 1752 Kampoeng Bogor, pemukiman pribumi sudah berdiri di Buitenzorg. Supermasi Eropa semakin berkurang ketika Bupati Kampung Baru, Demang Wiranata (1749-1758) permohonan untuk mendirikan rumah di daerah Sukahati (kini Empang) yang dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel. Sekitar 1770, Bupati Kampung Baru telah tinggal dan bahkan kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke rumah itu.
Melihat bisnis sewa tanahnya laku keras dan mendatangkan pemasukan yang cukup besar, gubernur jenderal pada saat itu, Van der Parra (1761-1775) membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin menyewa tanah miliknya, termasuk untuk urusan ekonomi. Van der Parra kemudian mengabulkan pendirian sebuah pasar di Buitenzorg. Pasar itu berdekatan dengan Kampung Bogor dan tidak jauh dari Kantor Kabupaten Kampung Baru. Sekitar tahun 1770, pasar itu mulai beroperasi, pada awalnya, Pasar ini hanya dibuka sepekan sekali. Karena semakin ramai, waktu operasi pasar ini pun ditambah menjadi dua kali sepekan, yakni setiap hari Senin dan Jumat. Atas bisnis sewa tanah tersebut, Gubernur Jenderal Van der Parra sudah meraup keuntungan yang cukup besar.
Semakin tingginya aktivitas perekonomian, apalagi rampungnya rel kereta api yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg sepanjang 50 km pada tahun 1873, pada mulanya status pasar ini pasar lokal menjadi ditingkatkan menjadi pasar regional. Sejak saat itu, Pasar Bogor dimasukkannya dalam jalur perdagangan Priangan-Batavia. Waktu operasi pasar pun diubah menjadi setiap hari. Arus perdagangan terutama hasil bumi dari Priangan yang dikirimkan ke Batavia semakin tinggi. Dalam cacatan Gerlings, seperti dikutip Devisari Tunas (2005), pada tahun 1870-1880, sekitar 60 % barang yang diangkut dari Buitenzorg ke Batavia adalah hasil bumi, seperti kopi, gula, kentang, kacang, beras, tepung, minyak sayur, minyak, dan kina. Sayur-sayuran segar yang berasal dari perkebunan di Sindanglaya (Puncak) merupakan komoditi terkenal di pasar ini.
Oleh karena pasar ini berdekatan dengan Kampung Bogor, maka spontan pedagang yang singgah pun menyebutnya Pasar Bogor. Bahkan kemudian para pedagang lebih akrab dengan nama Bogor untuk mengacu pada pasar yang terletak di Buitenzorg. Kata Bogor inilah yang kemudian meluas tidak hanya di kalangan pedagang, tetapi juga meluas dalam kehidupan masyarakat umum. Pada akhir masa kolonial, kata Bogor telah akrab di telinga kalangan masyarakat kala itu, sehingga Bogor sebagai nama tidak resmi dari Buitenzorg.

Lebih dari itu, Pasar Bogor kemudian menjadi simbol interaksi antara masyarkat golongan Pribumi, Tionghoa, dan Arab di kawasan eklusif Buitenzorg. Hal itu terjadi sejak meningkatnya volume perdagangan dan jaminan keamanan di pasar ini. Hal ini membuat para pedagang memutuskan untuk tinggal permanen di daerah sekitar Pasar Bogor. Masyarakat Pribumi kemudian tinggal di daerah, Lebak Pasar. Kemudian tumbuh pula Perkampungan Tionghoa (Handelstraat, Jalan Suryakencana sekarang) dan Perkampungan Arab (daerah Empang) pada akhir abad ke-19. Interaksi yang telah terjalin selama berabad-abad membuat ketiga kelompok masyarakat telah mampu beradaptasi dan menerima keberadaan satu dengan yang lainnya. (Sam Tanara/dari berbagai sumber)