“….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar….” (Q.S. Al-Ankabuut : 45).
BOGOR. Jurnalaksara.com, Menurut para ahli, pengertian ayat dimaksud adalah bahwa sholat itu berfungsi bagi diri yang melakukan, supaya mencegah kekejian dan kemunkaran. Jika saja masih terjadi bagi diri muslim yang telah mendirikan sholat namun masih terus melakukan perbuatan tidak terpuji dan membiarkan kemungkaran, maka shalat yang didirikan tersebut tidak sejalan dengan kandungan ayat tersebut di atas.
Memang konsekwensi dari sholat itu harus sedapat mungkin berusaha mencegah perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Artinya, bagi setiap muslim yang mendirikan shalat dan sesuai dengan esensi yang dikandung dalam sholat, maka dirinya sudah dapat dipastikan akan terus bergerak melawan kemunkaran.
Menerima sebagai hamba Allah
Pada dasarnya bahwa seseorang yang sudah mendirikan sholat, sesungguhnya dia telah “bersumpah” kepada Allah, sebagaimana yang dikandung dalam ungkapan kalimat “Iyyaka na’ budu” yang artinya : “Hanya kepada engkau kami beribadah”. Ibadah berasal dari kata “abada” (menyembah, mengabdi/berbakti). Menyembah atau berbakti kepada Allah berarti bernaung di bawah ketentuan hukum-hukum Allah. Maka, dalam shalat itu juga berarti telah memberikan pernyataan sumpah diri sebagai “pengabdi atau aparat/petugas” dari Kerajaan Allah. Sehingga dirinya siap berkorban untuk melawan setiap kali ada kekuatan yang menghalangi tegaknya ketentuan Allah.
Rasulullah SAW bersabda : “Yang paling utama dihisab (ditanya) seseorang hamba pada hari kiamat ialah mengenai sholat. Apabila beres sholatnya, maka beres segala amalnya. Dan jika rusak sholatnya, maka rusak pula segala amalnya”. (H. R. Thabrany).
Dihisab atau diperiksa disini dalam pengertian tota. Tidak hanya secara fisik sholat memenuhi syarat dan rukun atau wujudnya secara lahiriyah saja, melainkan jauh lebih dalam dibalik itu. Sebab, jika hanya sholat lahiriyah saja, maka orang-orang munafik dan fasik pun dapat melakukannya. Tegasnya, menurut para ulama, bahwa yang akan diperiksa mengenai sholatnya seseorang itu adalah mencakup pula akan isinya antara lain : Sudahkah dengan shalatnya itu dia mencegah kemunkaran dan kekejian sebagaimana yang disebutkan ayat tadi di atas ?. Sungguh-sungguhkah dia melakukan shalat itu dengan ikhlas dan beritikad sedia menjalankan seluruh perintah Allah, sebagaimana esensi shalat, atau hanya mengakui sebagiannya saja atau sholat hanya rutinitas belaka atau kepura-puraan agar dipandang sebagai seorang muslim sejati.
Selain itu adakah dalam sholat seseorang itu merupakan janji diri yang dipertanggungjawabkan untuk ditepati atau hanya janji kosong ? Atau memang sengaja dia telah berani merusak janjinya, karena menganggap sepele terhadap arti dan tujuan menyembah kepada Allah ? Wallahu”alam.
Seperti diutarakan para Alim Ulama, bahwa, shalat merupakan ibadah yang secara vertikal berhubungan langsung dengan Allah SWT. Akan tetapi, realisasi dari shalat itu tidak lepas dari ibadah yang secara horizontal berhubungan dengan kemasyarakatan.
Dalam bacaan shalat ada kalimat tauhid “Asyhadu anlaa ilaha illallaah”, artinya “aku bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan kecuali Allah”. Pengertian tentang “Tuhan” menurut Islam adalah Tuhan sebagai “Rabb” (Pembimbing) yang memberi tugas beserta peraturan-peraturan-Nya, dan kita sebagai hamba tidak boleh merubah ketentuan-Nya. Dengan demikian, maka kalimat tauhid yang kita nyatakan ketika melakukan shalat, mengandung arti tidak ada ketaatan kepada sesuatu apapun yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari Allah. Boleh jadi, apakah sumpah kita itu sudah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat? Jawabannya tentu ada pada diri masing-masing.
Ada yang sangat menarik dari sumpah kita dalam sholat yakni kalimat “hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” Namun apa yang terjadi dalam keseharian khusunya di negeri tercinta Indonesia, “jauh panggang dari api”. Kendati seorang muslim telah bersumpah kepada Allah dalam sholatnya paling tidak sebanyak 17 kali dalam sehari menggunakan kalimat itu. Namun sangat disayangkan dengan mudahnya mengingkari apa yang telah diucapkannya, kekejian, kemungkaran dan perbuatan tidak terpuji selalu menghiasi prilaku sehari-hari, di kantor-kantor, di pusat-pusat keramaian,di pasar, di jalan raya dan di tempat-tempat lainya. Mengapa itu bisa terjadi, “jangan bertanya pada rumput yang bergoyang, tapi bertanyalah pada diri sendiri.”
Kendati begitu, banyak pula kaum muslim yang konsekwen membuktikan diri dengan sekuat tenaga mengimplementasikan esensi shalatnya (sumpahnya) di dalam tata kehidupan bermasyarakat. Bila waktu subuh datang dia mendirikan sholat menghadap Allah, dan setelah itu dia terus menerus dalam posisi menjalankan hukum-hukum Allah dan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW.
Sesungguhnya Allah sebagai Tuhan seluruh alam dan Al-Qur’an merupakan Undang-Undang-Nya, maka orang yang beriman dan beramal shaleh adalah hamba atau aparat-Nya di bumi. Sehingga fungsi shalat yang dilakukannya sesuai waktu yang telah ditentukan adalah sebagai pengisi energi atau kekuatan diri untuk menolak kemungkaran sekaligus merupakan laporan diri sebagai ciri kesetiaan menjadi pengabdi atau hamba Allah. Jika kita sudah mampu menghayati “mengapa kita harus sholat”, maka Insya Allah shalat kita dapat menggetarkan jiwa untuk siap berpijak pada kebenaran Allah, selanjutnya terjun ke medan jihad dengan berbuat yang memberi manfaat kepada sesama manusia, sehingga hidupnya ditujukan guna pengabdian atau menghamba kepada Allah, tutur para Ulama.
Agar shalat kita berfungsi seperti di atas, tentunya terlebih dahulu kita harus memahami ilmu shalat dari mulai arti semua yang kita baca, tatacara shalat, syarat, rukun, sunah, makruh dan batal serta fadhilah shalat. Jadi, sungguh suatu hal yang mustahil sesuatu dapat kita raih, bila dalam pelaksanaannya saja kita masih belum sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Wallahu”alam (Pedoman Ummat)