Infaq Setiap Hari Walau Sedikit, Ternyata Hukumnya “Wajib”

BOGOR. Jurnalaksara.com, Istilah Infaq “wajib” hukumnya, mungkin aneh dan masih sangat asing di telinga kita saat ini. Kita  sudah terlanjur  dalam pandangan masyarakat bahwa infaq itu hukumnya sunnah. Sedangkan yang wajib itu adalah zakat. Oleh karenanya, definisi tentang infaq yang sifatnya sunnah boleh jadi mesti dikaji ulang. Tim redaksi di sini sepakat dengan sebagian ulama yang menyatakan bahwa infaq itu hukumnya wajib, dan dikenakan terhadap jenis harta di luar zakat.

Menurut para ahli,  kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan, yang artinya “berlalu”, “habis”, “laris”, “ramai”. Kalimat nafaqa asy-syai’u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa al-bai’u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq yang berarti “menghabiskan” atau “membelanjakan” dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa sunat

Menafkahkan harta dalam al qur-an

Diantara sifat seorang mukmin yang terdapat pada ayat-ayat Al-qur’an yaitu menafkahkan harta yang dicintainya (infaq), sebagaimana dalam firman Allah SWT :

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS : Al-Anfal: 3)

(Yakni, rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka lalu mereka mengeluarkannya.)

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud “menafkahkan” disini, yaitu sebagai berikut:

  1. Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan “nafkah” yang dikeluarkan itu adalah zakat wajib.
  2. Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan “nafkah” tersebut adalah shadaqah tathawu’ atau sukarela.
  3. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah hak-hak yang ada dalam harta selain zakat, karena Allah SWT, ketika menyebutkannya, berbarengan dengan shalat, maka nafkah tersebut menjadi wajib, dan ketika tidak disebutkan berbarengan dengan shalat maka yang fardhu hanya shalat, sedangkan nafkah tersebut tidak fardhu.
  4. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “nafkah” tersebut adalah nafkah dalam makna umum, dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran, karena infak tersebut menempati posisi “terpuji” jika dilakukan sebagian harta yang diberikannya kepada mereka dan infak hanya dapat dilakukan dari rezeki yang halal. Maksud ayat tersebut adalah, “Mereka mengeluarkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh syari’at berupa zakat atau yang lainnya, yang terkadang muncul pada beberapa keadaan, dan mereka dianjurkan untuk melakukan semua itu”

Infaq dikatakan wajib hukumnya, karena infaq secara tegas disebutkan dalam QS : Al-Baqarah ayat 2 – 4 merupakan syarat taqwa. Logika sederhananya adalah jika seorang mukmin tidak melaksanakan kewajiban infaq, sedangkan dirinya mampu untuk itu, maka yang bersangkutan dapat dikatagorikan sebagai seorang mukmin yang cacat Taqwanya. Akibatnya dia harus menanggung konsekwensi yang cukup serius yakni Kitab Suci Al-Qur’an tidak akan memberi petunjuk dan pada akhirnya tidak akan mendapat hidayah dari Allah SWT (coba renungkan Surat Al-Baqarah ayat 2 – 5)

Perintah infaq memang wajib. Namun tidak ada keterangan di ayat lain maupun Al-hadits yang menjelaskan berapa prosentase  yang harus dikeluarkan dari penghasilan, seperti halnya zakat yang jelas kadar, nishab, dan haulnya. Walaupun demikian, perbedaan pendapat para ulama mengenai penghasilan seseorang, lebih pada perbedaan istilah, yaitu dalam mengistilahkan zakat atau infaq wajib. Apapun istilah yang menyifatinya, penghasilan dari usaha seseorang wajib dikeluarkan bagi kepentingan para mustahiq.

Pada prinsipnya kadar infaq wajib ini ditentukan oleh individu masing-masing sesuai dengan ukuran penghasilan yang diperolehnya. Namun khalifah (pemerintahan) Islam, atau pengganti dari pemerintahan Islam boleh menentukan kadar infaq terhadap para wajib infaq ini. Ruh atau filosofi  pendorong zakat dan infaq adalah ketaqwaan, ketaatan, dan kejujuran. Boleh jadi  orang yang lemah keimanan, ketaqwaan, serta kejujurannya akan menghindar dari kewajiban ini. Sekalipun zakat sudah ditetapkan aturan-aturannya, orang yang benar benar bertaqwa akan mengeluarkan zakat, juga infaq, meskipun ketentuannya diserahkan kepada dirinya, ia akan menghitung berdasarkan kelebihan harta yang dia miliki, bahkan bisa jauh lebih besar dari zakat yang mesti ia keluarkan.

“Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan untuk menyehatkan sisa milik harta kamu”. (H.R. Abu Dawud)

 “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah: yang lebih dari keperluanmu…” (Q.S. Al-Baqarah : 219)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”, sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya).(HR Bukhari)

Semoga Allah menjaga keikhlasan kita, meridhoi kita. Allah SWT senantiasa memberikan rezeki kepada kita, memberkahi usaha kita, memudahkan urusan yang kita hadapi, memberikan kesehatan lahir dan bathin. Senantiasa tergerak untuk berbuat kebaikan setiap saat dimanapun kita berada, aamiin.

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Baqarah: 245).

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal”. (Qs. Ali Imran 133-136).

-Pedoman Ummat-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *